Manusia dan Belenggunya

Kevin Pratama Sugiarto – 11HBa

Membaca Novel Belenggu kita seolah-olah diajak untuk mengupas sisi kehidupan manusia. Salah satunya ialah manusia dengan belenggunya sendiri. Novel Belenggu menceritakan konflik rumah tangga Sukartono dan Sumartini dan juga kehadiran pihak ketiga, Rohayah; hidup mereka penuh dengan belenggu. Di awal cerita, kutipan “Seperti biasa…” (hal. 15 paragraf  dan baris pertama) seakan-akan memberikan pentunjuk kepada pembaca bahwa hanyalah rutinitas bagi Tono, untuk melihat Tini yang notabene adalah istrinya. Juga, hubungan gelap Tono dan Rohayah dianggap sebagai hinaan besar kala itu. Tono adalah seorang dokter, kaum berpengatahuan. Sedangkan Rohayah adalah hanya seorang “bunga raya”; perempuan jalang. Di akhir cerita, mereka semua berpisah. Lantas, mengapa kita mengatakan Tono, Tini dan Rohayah masih dibelenggu?

        Perkawinan Tono dan Tini sebenarnya sudah termasuk dalam golongan bermasalah. Perkawinan mereka tidak didasari cinta dan kasih. Perkawinan mereka hanyalah berdasarkan “Harimau ini mesti ditundukkan! … Makin garang, makin dia suka.” (hal. 59 paragraf ke-4 baris terakhir) yang pada artinya perkawinan mereka hanya didasari sikap gengsi; tekanan dari publik belaka. Padahal kita mengetahui bahwa Sukartono adalah seseorang yang berpendidikan. Karena sifat manusia yang haus akan kemenangan (baca, egonya tinggi), pendidikan yang telah didapat sirna hanya karena keegoisan kita. Dari sini, kita mempelajari satu hal yang sangat penting; manusia belum bisa lepas dari keegoisannya (belenggunya).

Join now!

        Sukartono yang pekerjaannya adalah dokter dan Sumartini yang aktif dalam organisasi dan perkumpulan, membuat mereka seakan-akan terbentuk menjadi individu, bukan suami-istri. Masing-masing mempunyai pekerjaan, tapi apakah boleh meninggalkan janji pernikahan? Menurut Tono, “Cintanya cuma terletak pada pekerjaannya saja.” (hal. 64 paragraf pertama baris ke-3). Kutipan tersebut menyorot kehidupan pernikahan mereka. Bukankah dengan adanya pekerjaan, kedua belah pihak menjadi tertantang untuk mempertahankan tali pernikahan mereka? Permasalahan tersebut adalah belenggu manusia. Manusia, yang cepat menyerah dan cepat bosan. Seakan-akan perkawinan adalah sebuah mainan anak kecil. Kita akan berbuat apapun untuk mendapatkan mainan tersebut. Tetapi sayangnya, ketika kita sudah mendapatkannya, kita merasa bosan. Baik ...

This is a preview of the whole essay