Ketegangan hubungan antara Jepang dengan Korea Utara dilatarbelakangi oleh pendudukan Jepang terhadap Korea Utara pada tahun 1910 sampai 1945. Tindakan militeristis Jepang masih “melukai” perasaan rakyat Korea Utara sampai saat ini. Hal itu menyebabkan hubungan kedua negara tidak pernah membaik. Persoalan hubungan kedua negara semakin besar karena ketidaksetujuan Korea Utara terhadap adanya pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah Jepang. Korea Utara menganggap keberadaan militer AS tersebut sebagai sebuah ancaman bagi keamanan Korea Utara. Persepsi itu dilatarbelakangi oleh ketegangan antara Korea Utara dengan AS, yaitu terkait isu kepemilikan dan pengembangan persenjataan nuklir Korea Utara. Bahkan bagi AS, Korea Utara merupakan the axis of evil atau poros kejahatan terkait dengan sikap Korea Utara yang selalu bertentangan dengan AS. Sedangkan bagi Jepang, keberadaan militer AS adalah sebagai penjamin keamanan wilayahnya dari serangan negara lain termasuk Korea Utara, karena Jepang tidak memiliki kekuatan militer sejak Perang Dunia II.
Selanjutnya ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan menjadi layaknya bisul lain yang menunggu untuk meledak. Sejak pecahnya perang Korea pada tahun 1950-1953 yang berakibat pada terbaginya Korea menjadi dua Korea, permusuhan di antara kedua negara tidak pernah usai. Sejak 1953 sampai saat ini perang Korea masih berlanjut dengan cara yang berbeda. Kedua negara masih terlibat dalam tindakan spionase satu dengan yang lain, masih terjadinya perang-perang kecil di daerah Demilitarized Zone (DMZ), dan melakukan propaganda di daerah perbatasan. Kedua negara juga menjalin aliansi melalui pendekatan perdagangan dan diplomasi dengan negara lain untuk memperkuat posisi masing-masing. Kedua negara juga aktif meningkatkan kekuatan militer masing-masing, di mana Korea Utara membelanjakan sebagian besar Gross National Product-nya (GNP) untuk meningkatkan kekuatan militernya. Sedangkan Korea Selatan memiliki militer yang terlatih dengan baik dan memiliki persenjataan canggih serta di back-up oleh AS dengan keberadaan pangkalan militer di wilayahnya.
Kemudian ketegangan antara Jepang dengan Korea Selatan merupakan salah satu isu hangat di kawasan Asia Timur saat ini. Ketegangan itu terkait dengan perselisihan tentang pulau Tokdo. Jepang mengklaim bahwa pulau tersebut adalah bagian dari wilayah Jepang yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Takeshima atau Bamboo Island. Sebaliknya Korea Selatan juga menganggap pulau itu yang dalam bahasa Korea Selatan disebut dengan Tokdo atau Lonesome Island, sebagai wilayahnya.
Isu lain yang menjadi tema hangat adalah ketegangan antara Jepang dengan Cina terkait dengan penerbitan buku pelajaran sejarah Jepang. Cina menganggap bahwa dalam buku sejarah tersebut Jepang tidak mengakui kekejaman tentaranya terhadap bangsa Cina ketika terjadi perang antara Jepang dengan Cina. Tindakan Jepang tersebut dikenal dengan “whitewash” yaitu Jepang tidak mengakui kekejaman kolonisasi dan agresi yang pernah dilakukannya selama Perang Dunia II. Jepang telah membolak-balikkan fakta sejarah “twisted history” dalam buku sejarah tersebut, sehingga membuat Cina sakit hati. Sikap Jepang yang tidak mau merubah isi buku tersebut sampai menyebabkan Ketua Parlemen Cina Li Peng menangguhkan kunjungan balasan ke Jepang.
Satu hal yang tak kalah pentingnya, bahkan mungkin akan menjadi penentu bagi stabilitas Asia Pasifik adalah ketegangan yang terjadi akibat sengketa atas Laut China Selatan yang terjadi antara China, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina.
Security Regime
Pada bagian akan disebutkan dan dijelaskan bentuk-bentuk security regimes yang sudah ada di Asia Pasifik. Pada gambar di bawah ini menunjukan yang pengaturan perdagangan, politik, dan keamanan yang sudah ada di Asia Pasifik. Selanjutnya, akan dibahas mengenai pengaturan-pengaturan keamanan yang sudah ada dan sedang diajukan di Asia Pasifik. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini, bahwa terdapat tumpang tindih pengaturan keamananyang terdapat di Asia Pasifik yang berkaitan dengan jumlah Negara yang mengikuti pengaturan keamanan tertentu. Hal ini menunjukan inefisiensi dan inefektifitas yang terjadi dalam pengaturan keamanan di Asia Pasifik tersebut. Sementara itu, dapat dilihat dari gambar pula, bahwa belum terdapat pengaturan keamanan yang mencakup keseluruhan Negara Asia Pasifik selain ARF (ASEAN Regional Forum) yang masih bersifat semi-informal dan kurang mengikat. Hal ini menunjukkan belum adanya kesadaran dari Negara-negara Asia Pasifik secara keseluruhan untuk mengurangi dilemma keamanan di antara mereka.
ASEAN + 3 (China, Japan, dan South Korea)
ASEAN + 3, lahir pada tahun 1997 sebagai hasil yang tidak diantisipasi sebelumnya, setelah Jepang mengajukan regular summit process di antara Tokyo dan ASEAN dalam berbagai agenda termasuk keamanan. Untuk mencegah terjadinya reaksi negative dari negara lain, ASEAN melebarkannya menjadi 3 negara, ditambah China dan Korea Selatan. ASEAN + 3 ini mengadakan pertemuan secara teratur untuk membahas berbagaia masalah keamanan, keuangan, dan ekonomi. China, sebenarnya lebih nyaman untuk bekerjasama dalam skema ini dibandingkan East Asian Summit karena tidak memasukan kekuatan besar lain, seperti India. Walaupun demikian, China, masih tetap melanjutkan dukungannya terhadap EAS.
ASEAN Regional Forum
Dibentuk pada tahun 1994, dengan tujuan untuk membawa negara-negara non-ASEAN dari wilayah Asia-Pacific bersama-sama membahas masalah politik dan keamanan dan membentuk ikatan kerjasama. Dalam perbedaan ideologi dan identitas serta minimnya latar belakangn sejarah kerjasama keamanan, ARF dianggap sebagai institusi yang penting untuk dialog keamanan di Asia. ARF ini bekerja melalui mekanisme dialog dan berbagai aliansi bilateral yang menjadi pokok bagi terbentuknya arsitektur keamanan regional. Proses yang terjadi ARF ini dimulai dengan transparansi (dengan publikasi terhadap military spending dan deployment information ), dialog, dan confidence buiding measure. Kemudian bergerak ke preventif diplomacy (melalui diskusi dan mutual pledges untuk menyelesaikan persengketaan dengan cara yang damai), dan dalam jangka panjang, berusaha untuk membangun kapabilitas resolusikonflik. Visi ARF ini adalah untuk mengatur dan mencegah konflik. Dua hal yang menjadi concern utama bagi ARF ini adalah masalah counter-terrorism regional dan masalah program misil nuklir Korea Utara.
East Asian Summit
EAS ini terdiri dari ASEAN + 3 ditambah dengan Australia, Selandia Baru, dan India. Di sini, peran China sangat terasa sekali. China menggunakan EAS ini sebagai kekuatan dalam dalam menghalau kehadiran AS dalam berbagai tempat di Asa. Sementara itu, khawatir akan kekuatan China, Jepang dan Singapura mengusulkan penambahan anggota lagi, Australia dan Jepang. Sejak saat itu, China meharik diri, sehingga lebih berkonsentrasi pada ASEAN + 3.
The Six-Party Talks
Ancaman potensial nuklir Korea Utara membuat 5 negara yang paling dekat dan memiliki kepentingan langsung dengannya (China, Jepang, Korea Selatan, AS, dan Russia) mau tak mau mesti mengadakan pembicaraan dengan Pyongyang. Pada 2003, China memulai pembicaraan dengan Korut, dan terus berlanjut secara sporadic sejak saat itu. Hal ini merupakan salahsatu bentuk bukti bahwa China bisa bekerjasama dengan negara lain, dan memimpin dalam issu yang mempengaruhi secara langsung kepentingan nasional dan batas wilayahnya. Pembicaraan kemudian berlanjut pada September 2006 dan 2007 dan berhasil menghasilkan hasil yang cukup menggembirakan. Walaupun nuklir Korea Utara belum bisa dihapuskan, tetapi Korut dan China bisa menjadi pemain utama dalam mencari solusi massalah ini di Asia Timur Laut.
The Proposed Northeast Asia Regional Forum (NERF)
Dari pembicaraan ini, beberapa pihak mengusulkan formalisasi 5 negara (di luar Korea Utara) yang tergabung kelompok ad hoc yang ada pada Six Party Talk ini. salah satu tujuan yang diajukan adalah untuk mengorganisasi pertemuan diplomatic multilateral alam interval ytang regular untuk mempertimbangkan berbagai hal seperti keamanan, kesehatan, energy, dan isu ekonomi di dalam kawasan.
Permasalahan yang terjadi, menurut Dick K. Nanto, dalam menyatukan negara-negara Asia Timur ini ke dalam satu kerjasama adalah perbedaan yang nyata diantara kelima negara tersebut, sehingga kerjasama hanya bisa dilakukan pada saat tertentu saja dan bekerja sama ketika mereka menghadapi suatu permasalahan yang cukup besar dalam sehingga mereka bisa menyimpan strategic rivalries yang ada di antara mereka dan bekerjasama untuk mencari solusi bersama yang memuaskan. Masalah yang terjadi dengan pendekatan kelompok ad hoc ini adalah hanya akan terjadi ketika masalah begitu besar dan gawat, transcend borders, dan intractable. Dengan keadaan seperti ini, perlu diadakan perluasan kerjasama, dimulai dengan mencari area of overlapping interest di mana masih terdapat jalan untuk tercapainya consensus. Namun hal ini tampaknya masih sulit dilakukan, mengingat betapa besarnya jurang rivalitas di antara mereka.
Salah satu permasalahan yang terjadi dalam membentuk security arrangements di Asia Pasifik umumnya, dan Asia Timur pada khususnya adalah sikap negara-negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan dalam menyikapi peran utama China sebagai kekuatan terbesar di kawasan itu seperti yang terlihat di berbagai bentuk kerjasama yang disebutkan sebelumnya. Di satu sisi,para ahli yakin bahwa pembentukan NERF akan bisa mengarah pada terbentuknya security community di Asia Tmur Laut. Bernhard Seliger dan Werener Pascha melihat ada kemungkinan terbentuknya security community ini dengan berfokus pada hubungan antara 2 Korea yang selama ini renggang hubungannya. Sementara itu, Alex Littlefield lebih pesimis lagi, dengan melihat resistensi negara-negara lain terutama Jepang, terhadap kekuatan dan peran China di dalam kawasan. Hal ini membuat terbentuknya security arrangement di kawasan Asia Timur Laut hanya akan ditujukan sebagai langkah balancing terhadap kekuatan China.
Hal ini menunjukan sulitnya terbentuk security arrangements yang bersifat konstruktivis di Asia Pasifik seperti security community, sehingga pembentukan kerjasama ad hoc tampaknya masih menjadi pilihan yang paling mungkin dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah keamanan di Asia Pasifik.
Security Community
Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa untuk mencapai terbentuknya pengaturan keamanan yang berbasiskan security community cukup sukar dilakukan karena begitu dalamnya rivalitas yang terjadi di antara Negara-negara Asia Pasifik, khususnya Negara-negara Asia Timur. Namun bukan berarti terbentuknya komunitas keamanan di dalam kelompok kecil Negara-negara tertentu di Asia Pasifik,
Rodrigo Tavares, Understanding Regional Peace and Security : A Framework for Analysis, hal 16
http://www.aseanregionalforum.org/default.aspx?tabid=55.
Asian Anxieties, Pacific Overtures: Experiments in Security. World Policy Journal,
Summer 1994, Vol.11, Issue. 2; pp. 37-45.
Dick K. Nanto. Asian Regional Architecture : New Economic and Security Arrangements and U. S. Policy . Diakses dari , tanggal 12 November 2011, pukul 20.00 WIB
Bernhard Seliger dan Werener Pascha (eds). Towards a Northeast Asian Security Community Implications forKorea’s Growth and Economic Development. New York : (Springer, 2011). Hal 1 - 10
Alexis Littlefield. East Asian Security Order as a Response to Chiniese Foreign Policy. Diakses dari , pada tanggal 12 November pukul 20.43 WIB. hal