Permasalahannya: untuk apa Raskolnikov membunuh? Apakah budaya dan atau beragam pemikiran yang berkembang di Rusia pada saat itu mengizinkan orang untuk membunuh? Mengapa Raskolnikov memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk memutuskan bahwa ia ingin mengakui kesalahannya? Apa makna dari penundaan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, pengertian tentang arti budaya haruslah lebih dahulu diuraikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya merujuk pada akal budi, pikiran, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Dalam Bahasa Inggris, budaya disebut dengan istilah culture. Culture sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang artinya mengolah atau menggarap (sebab dipercaya bahwa peradaban pertama mengandalkan kemampuan bertani, sebelum nantinya mengenal pendididikan dan agama). Budaya mencakup suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama untuk diwariskan dari generasi ke generasi dalam sebuah kelompok.
Menurut Edward Burnett Tylor (antropolog Inggris yang meneliti evolusi budaya), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, moral, hukum dan adat istiadat. Kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta yang menjadi sarana, gagasan, dan pedoman bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku, baik secara individual mau pun dalam masyarakat.
Dalam Bahasa Rusia sendiri, budaya dinamakan kul’tura. Kul’tura artinya aktivitas manusia yang berhubungan dengan eskpresi diri, akumulasi keterampilan, kemampuan, kompetensi dan karakteristik manusia, termasuk realisasi praktis dari nilai spiritual.
Dengan definisi seperti itu, jelaslah pesatnya pengembangan budaya pada akhirnya juga akan menghasilkan banyak pemikiran-pemikiran yang mungkin bertentangan dengan budaya sendiri. Di Rusia, pemikiran yang cukup radikal datang dari Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman. Ia percaya “apa yang tidak membunuh manusia hanya akan membuat manusia menjadi lebih kuat”.
Nietzsche adalah pelopor paham Ubermensch, sebuah paham yang menuntut manusia untuk memiliki keberanian, kecerdasan dan kebanggaan. Tiga hal tersebut harus dipadukan dalam bentuk adanya sebuah nyali untuk menghadapi kebahagiaan dan juga penderitaan. Nietzsche mengungkapkan “hanya orang kuat yang dengan rela dan sadar memanggul beban berat dan sabar dalam penderitaan”.
Penderitaan berakar dari pesismisme, tekanan batin dan kekecewaan atas kondisi sosial. Namun, penderitaan itu sendiri merupakan ujian ketabahan dan keteguhan hati. Penderitaan menjadi penting, sebab hanya melalui penderitaan sajalah orang yang ingin menjadi kuat bisa belajar untuk menghadapi kendala hidup, supaya di masa depan ia tidak mudah goyah.
Apa perbedaan yang menonjol antara orang lemah dan orang kuat? Menurut pandangan Nietzsche, sekumpulan orang lemah selalu menolak untuk menerima kenyataan. Orang lemah meratapi, mengutuk dan, kalau mampu, pasti mati-matian menjauhi penderitaan. Sementara itu, orang yang kuat tidak akan banyak mengeluh, melainkan memeluk erat penderitaan itu sebagai sebuah anugerah yang tersembunyi dalam penyamaran (blessing in a disguise). Memang tidak mustahil bagi orang kuat untuk takut dan waspada terhadap ketidaknyamanan yang disebabkan oleh penderitaan. Namun, dalam jangka panjang, orang kuat akan mensyukuri kesukaran yang ia alami, dengan landasan pemikiran “penderitaan akan menempa mereka agar siap menjadi manusia luhur dan mulia”.
Selain yang telah disinggung di atas, Nietzsche juga mempunyai teori mentalitas budak dan mentalitas tuan. Orang dengan mentalitas budak memiliki sifat lemah lembut, rendah hati dan mencari harmoni dalam hubungannya dengan sesama manusia. Sementara, orang yang memiliki metalitas tuan adalah orang yang unggul, kuat, jenius dan cederung memandang segala sesuatu yang ia lakukan sebagai hal yang baik dan benar. Orang dengan mentalitas demikian tak lagi berpikir bagaimana cara bertindak, tetapi justru fokus pada apa tindakan yang akan ia lakukan.
Bisa jadi, keinginan yang besar untuk menjadi kuat telah membuat Raskolnikov sengaja memperpanjang pergumulan batinnya. Ia menyiksa dirinya sendiri utuk membuktikan ia bukan orang lemah. Namun, ternyata Raskolnikov hanya manusia biasa yang punya batas kekuatan. Ia tidak tahan berlama-lama memendam sendiri rasa khawatir dan rasa bersalah. Ia tahu betapa pembunuhan yang ia lakukan bertentangan dengan hati nuraninya, selain itu ternyata ia juga butuh seseorang yang akan mendengarkan penuturannya dan tidak menghakiminya. Orang itu adalah Sonia, wanita muda yang Raskolnikov lihat sebagai perlambangan dari penderitaan manusia, sebab Sonia datang dari keluarga yang berantakan. Ayahnya, Marmeladov, adalah seorang pemabuk, sementara Ibu tirinya, Katerina, sangat galak dan keras (sedikit-banyak disebabkan oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya). Raskolnikov merasa Sonia tidak akan meberinya label yang negatif, sebab wanita muda itu sendiri juga jatuh dalam dosa, yakni prostitusi. Sonia dapat bersimpati dan berempati pada Raskolnikov, maka kekasihnya itu pun luluh dan di akhir cerita berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan penuh pengharapan.
Sebenarnya, di awal cerita sudah ada foreshadow bahwa Raskolnikov akan mengakui perbuatan jahatnya. Dostoyevsky telah mendeskripsikan sebuah adegan di mana Raskolnikov mendapatkan mimpi yang sangat seram. Dalam mimpi tersebut, ia melihat dirinya sebagai seorang anak kecil yang tak berdaya menyaksikan seekor kuda dipukuli ramai-ramai. Raskolnikov cilik tak punya kuasa untuk menolong si kuda yang akhirnya mati itu. Dapat diasumsikan orang-orang yang memukuli hewan malang itu adalah metafora dari Alyona Ivanovna yang digambarkan sebagai wanita tua yang selalu bersikap kasar pada adik tirinya, sementara si kuda merupakan simbolisme dari Lizaveta yang tak punya kemampuan membela diri, baik dari serangan kakaknya mau pun dari ayunan kapak Raskolnikov. Alternatif penafsiran lainnya adalah bahwa kuda itu bukan metafora untuk menggambarkan kerapuhan Lizaveta, melainkan simbolisasi dari hati nurani Raskolnikov yang berontak terhadap semua bentuk kekerasan (sama seperti hati nurani Raskolnikov, si kuda juga meronta-ronta), sementara orang-orang yang memukuli kuda adalah simbolisasi dari godaan untuk melakukan keburukan. Tetapi, fakta bahwa Raskolnikov masih sangat ketakutan setelah terbangun, menunjukkan bahwa ia masih punya sisa-sisa kesadaran sebagai manusia yang baik dan utuh. Ketika Raskolnikov membunuh Alyona dan Lizaveta, pada dasarnya ia membunuh sisi kemanusiaan di dalam dirinya sendiri.
Ada kemungkinan Raskolnikov memiliki kehendak untuk berkuasa. Dalam pemahaman Nietzsche, orang yang berambisi untuk mencapai kekuasaan yang sempurna (atau absolut) haruslah menghadapi rintangan tertentu, salah satunya adalah perspektif tentang kebenaran dan keadilan, yang mesti diamati dengan cermat.
Raskolnikov yang sudah insyaf menganggap dirinya sendiri bersalah. Pertanyaannya: sejauh mana ia bersalah? Untuk menelaah batas-batas apa yang salah dan apa yang benar, ada baiknya dijabarkan sedikit tentang apa itu etika.
Etika adalah seperangkat peraturan yang menegaskan bagaimana seseorang seharusnya memperlakukan sesamanya. Meski demikian, apa yang dianggap benar oleh satu masyarakat, dapat saja dianggap salah oleh masyarakat lain, sebab etika dibuat atas dasar kesepakatan bersama.
Dalam teori etika filosofis, etika bisa dibagi menjadi meta-etika dan etika normatif. Meta-etika berkutat dengan pencarian mengenai arti moral dan apa saja kewajiban moralistik seseorang, sementara etika normative berkutat dengan pada pencarian mengenai apa saja faktor-faktor yang mendorong seserang untuk memilih melakukan sesuatu dan memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu yang lain. Di tengah kedua jenis etika itu, ada pertanyaan klasik: haruskah kita berusaha untuk meraih kebahagiaan pribadi ataukah kita seharusnya mengorbankan diri untuk kepentingan yang lebih besar? Apa indikator bahwa ‘kepentingan’ itu ‘besar’?
Ada teori yang menyatakan bahwa suka dan duka orang lain akan menjadi motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Bisa jadi niat awal Raskolnikov untuk membunuh dipicu oleh perspektif dirinya mengenai duka Ibunya (Pulcheria Alexandrovna) dan adiknya (Dounia) yang harus selalu hidup hemat. Padahal, belum tentu Pulcheria dan Dounia berada dalam apa yang dianggap sebagai duka. Untuk mengerti apa yang membuat duka menjadi konsep yang relatif (dalam pengertian bahwa makna duka bisa berbeda bila dilihat dari kacamata berbeda), ada baiknya dijabarkan sedikit tentang teori kefaedahan Bentham, bahwa benar tidaknya suatu perbuatan tergantung dari tingkat kegunaannya.
Seperti Nietzsche, Bentham mengakui adanya peran rasa senang dan penderitaan dalam memperkaya hidup manusia. Pada umumnya, orang akan mengasosiasikan kebaikan dengan rasa senang, kejahatan dengan penderitaan. Lebih jauh lagi, Bentham menggarisbawahi bahwa kebahagiaan dan penderitaan sesungguhnya dapat diukur berdasarkan durasi dan intensitas. Dengan begitu, suatu perbuatan dapat disetujui atau tidak disetujui berdasarkan sebesar apa penderitaan atau rasa senang yang dihasilkannya.
Namun, John Stuart Mill menolak teori tersebut. Menurutnya, bukan kuantitas rasa senang yang penting, namun kualitas kebahagiaan. Kualitas tidak akan bisa dijumlahkan, sebab kebahagiaan itu sendiri hadir dalam banyak tingkatan. Maka, menurutnya, perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memberikan hasil yang paling memuaskan, atau setidaknya, tak merugikan orang lain. Sayangnya, terkadang sangatlah sulit untuk mengetahui dengan pasti apa saja konsekuensi dari tindakan-tindakan manusia.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa , walau pun berdasarkan latar belakangnya tindakan Raskolnikov dapat dimaklumi, tetap saja pembunuhan tidak dapat dibenarkan, karena konsekuensi dari pembunuhan itu sendiri (tidak harus konsekuensi dalam bentuk materi, namun juga konsekuensi psikologis) sangat kompleks dan tidak atau belum bisa diprediksi secara akurat.