Sukartono yang pekerjaannya adalah dokter dan Sumartini yang aktif dalam organisasi dan perkumpulan, membuat mereka seakan-akan terbentuk menjadi individu, bukan suami-istri. Masing-masing mempunyai pekerjaan, tapi apakah boleh meninggalkan janji pernikahan? Menurut Tono, “Cintanya cuma terletak pada pekerjaannya saja.” (hal. 64 paragraf pertama baris ke-3). Kutipan tersebut menyorot kehidupan pernikahan mereka. Bukankah dengan adanya pekerjaan, kedua belah pihak menjadi tertantang untuk mempertahankan tali pernikahan mereka? Permasalahan tersebut adalah belenggu manusia. Manusia, yang cepat menyerah dan cepat bosan. Seakan-akan perkawinan adalah sebuah mainan anak kecil. Kita akan berbuat apapun untuk mendapatkan mainan tersebut. Tetapi sayangnya, ketika kita sudah mendapatkannya, kita merasa bosan. Baik Tono dan Tini kedua-duanya keras kepala. Tono, seorang kepala keluarga, seakan-akan cepat menyerah akan keadaan pernikahan mereka.
Kurangnya komunikasi diantara Tono dan Tini membuat tali pernikahan mereka semakin merenggang, karena ego mereka yang tinggi. Tono mengharapkan Tini untuk memulai pembicaraan, “Mengapa mesti aku dahulu yang menghampirinya? Mengapa bukan dia?” (hal. 65 paragraf ke-2, baris ke-7) dan Tini juga, “Tini menunggu, berharapkan dia hampir, tetapi tinggal tertunggu-tunggu.” (hal. 68 paragraf ke-3, baris pertama). Jika keadaan ini berlanjut, tentu bisa kita tebak, perceraian sudah diambang pintu. Jika kita mengatakan Tono kurang waktu untuk berkomunikasi dengan Tini, mengapa Tono bisa berhubungan dengan Rohayah? Bukankah dia seorang dokter? Pasiennya banyak? Armijn Pane menyiratkan sebuah pesan yang tak bernilai. Kurangnya komunikasi, membuat sebuah individu menyimpang dari etika-etika yang beredar di masyarakat. Contohnya, seperti yang sudah disebutkan, hubungan gelap antara Tono dan Rohayah. Perilaku Tono sudah menyimpang dari etika-etika yang berlaku. Padahal, jika saja Tono mau berkomunikasi, berdiskusi dengan Tini, langgenglah hubungan mereka berdua dan tidak ada pihak ketiga.
Di bab 13, diceritakan bahwa Tini dan Rohayah bertengkar. Tini yang merasa kesal dengan kehadiran Rohayah di perkawinan Tini, menyerang dengan kata-kata, “engkau” dan “aku”. Padahal menurut etika, penggunaan kata engkau dan aku adalah sesuatu yang kasar, ditujukan kepada orang yang tidak dikenal. Tini terlalu bersemangat dan berapi-api untuk menyerang Rohayah. Rohayah yang sudah berpengalaman (karena dia sudah pernah kawin dengan orangtua 20 tahun lebih tua), bersikap tenang dan “mengalahkan” Tini. Manusia dengan emosi. Manusia terkadang masih termakan oleh emosinya. Manusia sering kali bertindak menggunakan perasaan, bukan dengan akal sehat. Inilah belenggu manusia yang lainnya, emosi mengalahkan akal sehat. Secara logika, Tini seharusnya “menang” ketika berargumen dengan Rohayah, karena secara sosial, Tono derajatnya lebih tinggi daripada Rohayah. Tapi Rohayah, yang hanya seorang gundik dan bekas bunga raya, bisa mengedalikan emosinya. Sungguh perbandingan yang cukup mencolok.
Di dalam hati yang lemah, bukankah terdapat jiwa yang kusut? Begitulah dengan Rohayah, juga Tono dan Tini. Setelah berpisah dengan Tono, Rohayah masih memendam perasaan terhadap Tono. Kata Rohayah, “…sebagai jalan yang ditempuh oleh manusia yang melarat, semakin sengsara. Tono, Tono.” (hal. 150 baris dan paragraf terakhir). Perginya seseorang dari kehidupan kita, bukankah harus direlakan? Memang, jejak mereka terasa jelas sekali di hati kita. Mengapa kita tidak mau relakan? Seperti kematian seseorang, jika kita terus memendamnya di dalam hati, tentulah kehidupan kita akan berantakan, karena senantiasa mengenang yang sudah berlalu. Suatu belenggu yang sulit dihapus dari kehidupan manusia.
Inilah potret kehiupan manusia. Penuh dengan kelebihan dan kekurangan. Melalui novel Belenggu, kita seakan-akan diajak untuk memberontak belenggu kita masing-masing. Jika tidak melawan belenggu, akan sakitlah hati kita seperti Tono, Tini dan Rohayah; ketiganya berpisah dan hidup masing-masing. Tidak Tini maupun Rohayah mendapatkan pria idamannya. Semuanya karena terbelenggu oleh permasalahan-permasalahan hidup.