Jauh sebelum zaman penjajahan Belanda, bangsa Arab singgah ke Indonesia untuk keperluan berdagang serta penyebaran agama Islam. Tidak lama kemudian, datanglah Laksamana Cheng Ho yang juga menyebarkan agama Islam. Penduduk Indonesia, yang pada waktu itu beragamakan Hindu dan Buddha, beralih ke agama Islam dengan kasih. Tidak ada peperangan maupun konflik berarti. Persatuan budaya Muslim dengan budaya Tiongkok pun sangat kental. Sebagai bukti, banyak sekali masjid-masjid yang mengandung gaya arsitektur Tiongkok. Bapak Abdurahman Wahid (Gus Dur), Presiden Indonesia ke-3, juga adalah seorang Pribumi keturunan Tionghoa*.
Ketika era bangsa Portugis dan Spanyol dimulai, budaya berkorupsi telah dimulai. Mereka datang dengan motto 3G, God, Glory dan Gold. Kata “God” berarti penyebaran agama Kristen Katolik di tanah jajahan yang dituju. “Glory” berarti penjajah sukses menjadikan tanah tujuannya menjadi bagian dari negara mereka. Terakhir adalah “Glory”, yang mempunyai makna menjadi kaya secara material.
Sejarah berkata, bangsa Portugis dan Spanyol menerapkan motto 3G dengan kekerasan. Sebut sajalah, perang Maluku antara penduduk lokal dengan penjajah. Di luar Indonesia, jatuhnya bangsa Astecs di Mexico juga karena kekerasan yang digunakan bangsa Spanyol.
Tidak lama setelah itu, bangsa Belanda datang, dengan motto yang hampir sama dengan Spanyol dan Portugis. Hanya saja, bangsa Belanda lebih kejam daripada bangsa Spanyol dan Portugis. Penjajahan selama 350 tahun telah memakan banyak korban. Sebagai contoh, pembuatan jalan dari Anyer-Panarukan, ribuan orang meninggal sia-sia karena kekejaman kolonial Belanda. Juga, kerja paksa atau rodi yang menyebar di seluruh Indonesia.
Indonesia benar-benar hancur di tangan Belanda. Selain mengekploitasi sumber daya alam, penjajah Belanda juga mengkotak-kotakkan pergaulan bangsa Indonesia dengan mengadakan sistem “kasta”. Di peringkat pertama sudah tentu, diduduki oleh bangsa Belanda. Di peringkat kedua adalah orang Indo, ketiga adalah orang Tionghoa dan terakhir, orang Pribumi Indonesia. Dengan adanya sistem kasta seperti ini, timbullah suatu rasa kebencian Pribumi kepada bangsa Belanda dan Tionghoa. Sangat disayangkan, karena bangsa Tionghoa datang dengan damai. Berlakunya sistem kasta membuat Pribumi benci akan orang Tionghoa yang sebelumnya adalah teman mereka.
Di titik inilah, budaya berkorupsi dimulai. Pemerintahan Belanda yang sudah terkenal sangat korup juga mendukung budaya korupsi. Pribumi yang selalu ditekan dan ditindas oleh Belanda, akhirnya mempunyai suatu pikiran bahwa hanya orang segolonganlah yang bisa dipercaya. Bukan saja dengan masalah rasa atau golongan, tetapi juga dengan agama. Pribumi yang mayoritas beragama Islam, berpikiran bahwa agama Islamlah yang terbaik, karena Kristen Katolik dianggap sebagai agama yang “kotor” karena agamanya bangsa Belanda.
Hal yang sama juga dirasakan keturunan Tionghoa yang bermukim di Indonesia. Sangat sedikit sekali adanya perkawinan campuran dengan Pribumi. Begitu juga di dunia politik. Jarang sekali perwakilan dari etnis Tionghoa di kursi pemerintahan Indonesia. Sebagai contoh, ketika zaman pemerintahan Bapak Soeharto, etnis Tionghoa sangat tertekan. Menggunakan nama “tiga huruf” dan berbahasa Mandarin sama sekali tidak diperbolehkan. Sedihnya, dibalik kekuatan Bapak Soeharto, berdiri dua orang Tionghoa, Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan The Kian Seng (Bob Hasan).
Di bab II novel Salah Asuhan, sangat terasa budaya korupsi yang digunakan oleh bangsa Belanda. Misalnya, ketika Corrie memanggil Simin dengan: “kerbau.” Kata “kerbau” menunjukkan suatu perkataan yang hina ditujukan untuk Simin, yang notabene adalah seorang Pribumi dan pembantu. Corrie juga berkata, “Apa engkau hendak menanti sampai aku mati sebab haus, Simin? Lekas dan toh, es banyak!”, kalimat ini juga menunjukkan sebagai suatu kebencian kepada Pribumi yang dikatakan “Corrie”, lamban.
Ketika Tuan du Bussee menjelaskan tentang perkawinan campuran, beliau berkata, “… papa sendiri tak adalah sifat-sifat kesombongan itu.”, bahwa sesungguhnya ada juga orang Barat yang tidak rasialis. Berhubung orang Indonesia terbelakang dalam dunia pendidikan ketika itu, bangsa Belanda berpikiran bahwa mereka dapat dibodohi.
Semua aspek negatif hubungan bangsa Barat dengan Timur sebenarnya bisa luluh dengan satu kata, cinta. Hubungan percintaan antara Hanafi dengan Corrie, membuat suatu jurang budaya bisa dirapatkan. Namun sekali lagi, kekejaman Belanda di Indonesia membuat cinta Hanafi dan Corrie retak di tengah cerita. Permasalahannya adalah, orang Belanda berbudaya Barat, dan orang Timur berbudaya Timur. Walapun telah dikatakan laki-laki dan perempuan bisa bersatu dengan cinta, penyakit kesombongan bangsa menggerogoti cinta itu.
Sayang seribu sayang, semua budaya, baik budaya Barat atau Timur, baik apa adanya. Di novel Salah Asuhan ini, jurang budaya antara Barat dan Timur membesar karena penyakit kesombongan bangsa. Penyakit kesombongan bangsa itu tak lain adalah budaya berkorupsi. Permasalahan perbedaan budaya sangat rumit, karena setiap individu manusia telah dihinggapi penyakit kesombongan bangsa ini. Kalau kita bisa berpikiran maju, sebenarnya tidak ada Barat atau Timur, yang ada hanyalah satu, satu dunia untuk semua.
Kevin Sugiarto - 11HBa